Salam kenal rekans HBC...
Belum genap sebulan setelah mengandangkan Brio Satya E M/T merah, Si Red ane ajak blusukan PP ke kampung halaman yang ada di ‘pedalaman’ Kuansing (2-3 Mei 2015). Melewati jalur Lintas Tengah Sumatra, rute Pekanbaru – Taluk Kuantan, yang tak semulus pipi Raisa (yang sering lewat jalur itu itu pasti hafal bopeng-bopengnya, kwkwkwk). Kemudian melewati jalan tanah yang biasanya dilewati truk sawit dan CPO. Ternyata performa Brio di luar dugaan.
Jujur, ane sebelumnya cukup underestimate membawa Brio pulang ke kampung halaman. Karena medannya memang tak layak untuk jenis mobil mungil dengan ground clearance rendah. Selama ini kalau pulkam seringnya bawa Inop dan Apan (minjem saudara), pernah juga bawa Jimun 4x4 (namanya Si Red juga tp udah dilego). Nah, pas bawa Inop dan Apan pernah beberapa kali gasruk di lobang, apalagi pas melewati jalan tanah sejauh 13 km itu. Duh....
Jalan lintas tengah yang tak mulus itu ternyata bisa dilalui Brio dengan santai. Suspensinya cukup nyaman dan tidak oleng ketika melewati jalan aspal yang tak semulus pipi Raisa itu dengan kecepatan rata-rata 50-100 kpj.
Jalur itu memang susah untuk dibawa lebih 100 kpj, karena terlalu banyak tikungan, lubang dan tambalan aspal yang asal-asalan. Apalagi kalau ketemu konvoi dump truck batubara atau sawit, nunggu ketemu jalan lurus dulu baru bisa mendahului. Bahkan di tikungan cacing (sambung menyambung) handling-nya masih nyaman di kecepatan 60-80 kpj. Padahal kalau bawa dua mobil sebelumnya, ane nggak berani di tikungan lebih dari 60 kpj. Beloknya terlalu mbanting.
Ibu ane yang duduk di samping, juga merasa cukup nyaman diajak jalan dengan Brio. Padahal biasanya sering mabuk kalau naik kendaraan jauh. Apalagi ruang kaki Brio cukup lega untuk penumpang depan.
Nah, ujian paling besar ketika melewati jalan tanah 13 km (ada aspalnya sekitar 5 km tapi rusak) setelah keluar dari jalan lintas Sumatra. Jalan sejauh itu biasanya ane tempuh 40an menit. Tapi dengan Brio bisa 25 menit, karena pas lewati jalan tanah tidak rata bisa agak kencang karena suspensinya cukup enak. Untungnya tidak ada lubang yang sadis, sehingga Si Red tidak tidak gasruk-gasruk. Lubang-lubang yang sebelumnya ane takutkan bakal sering nyosor bemper bawah Si Red ternyata bisa dilewati dengan tenang dan nyaman.
Kondisi jalan seperti itu memang sebenarnya tidak cocok untuk mobil mungil, tapi Brio dapat melewatinya dengan baik. Selama sehari di kampung, ane tidak menemukan mobil-mobil sekelas, termasuk si kembar AA. Satu-satunya mobil kecil yang ane temui cuma Yare. Warga di sana umumnya memakai Kijang, Panther, Rusuh, Inop, Apan, Teri, double kabin dan sejenisnya.
Untuk konsumsi BBM premium, perjalanan PP dengan jarak tempuh 2x130 km ane cuma habis 150 k, setengah dari tampilan MID. Untuk di jalan tanah konsumsi BBM 11,8 km/l. Sedangkan di jalur lintas sumatra, konsuminya 18,8 km/l. Perbandingannya di dalkot ane bisa sekitar 11-15 km/l. Pulang dari blusukan ordo menunjukkan 1.000 km lebih dikit. Berarti saatnya masuk ke bengkel untuk servis pertama, hehehe....
Dari perjalanan itu, kesimpulan ane Brio cukup nyaman dibawa ke kota maupun diajak blusukan ke pedalaman, lewat hutan dan kebun sawit. Dengan catatan lubang-lubangnya tidak terlalu sadis, yang hanya bisa dilalui mobil jenis 4WD. Satu-satunya kelemahan, suara berisik di kabin kalau lewat jalan tanah atau aspal kasar. Mungkin karena peredamnya terlalu tipis. Cihuiii....
Mohon maaf kalau kurang berkenan, hanya sekadar berbagi cerita...